“Hai! Namaku Mario.”
Aku yang sedang duduk melamun,
terkejut ketika seseorang mengulurkan tangan, tanda ingin berkenalan.
“Ya?” kataku ingin memastikan
“Namaku Mario. Kau Maura, kan?”
Ooh..namanya
Mario, kataku dalam hati
Sebelumnya aku tak seperti ini. Yang
bisa menerima orang asing di dalam hidupku. Namun ini memang berbeda. Saat
pertemuan kali pertama itu, aku langsung tertarik begitu saja dengan
kepribadiannya. Tenang, berkarisma dan humoris pula. Cukup lama kita
berbincang-bincang setelah perkenalan itu. Kebetulan, memang kita berdua punya
satu kesenangan yang sama. Yaitu seni. Aku senang dengan seni musik, sedangkan
dia seni rupa. Walaupun kedua konteks itu berbeda, namun ketika berbincang
dengannya tak akan kehabisan bahan obrolan.
“Penampilanmu barusan cukup bagus.”
“Oh ya? Kau menontonku dari kapan?”
kataku, tak menyangka
“Sejak tadi sore. Aku hanya sekedar
duduk dengan kopi panasku.” Katanya
“Wah, aku tak melihatmu.”
“Aku hanya ingin memberikan sesuatu
untukmu. Ini, ambilah” katanya, sambil memberikanku sebuah kertas berwarna
putih yang telah tercoret oleh sebuah gambar, tepatnya sketsa wajahku dengan
piano ketika aku perform tadi sore.
“Kopi panasku memberikanku inspirasi
untuk membuat sketsa tentang wajahmu dan pianomu itu.” Sambil tersenyum dia
mengangkat cangkir, yang ada bekas mulutnya ketika dia meneguk kopinya.
“Kopinya kok belum habis, Mas?”
“Aku terlalu asyik membuat sketsa
itu sampai lupa dengan kopi panas ini” sambil menjawab ia tertawa
“Seserius itukah?” kataku sambil
ikut tertawa
Entah apa yang ada di benakku ketika
melihat bola matanya yang cukup besar, bulat dan hitam. Senyumannya yang
menawan membuatku tertawa geli sendiri. Ketika keheningan ada di antara kita,
aku tak berani menatapnya. Namun, aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa ia
sedang menatapku.
“Ada apa, Mas?” godaku sambil
menatap matanya. Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba itu.
Beberapa saat dia terjebak dalam tatapan mataku, cepat-cepat dia menjawab “Ah
tidak ada apa-apa, Maura” sambil membuang muka.
Perbincangan itu akan segera
berakhir karena waktu telah larut malam.
“Sudah larut malam, Maura. Kau harus
segera pulang.” Katanya
“Ya sebentar lagi.”
“Mau aku antar?” ajaknya
“Terimakasih sebelumnya atas
ajakanmu. Tapi aku bawa kendaraan sendiri kok, Mas.”
“Oh begitu. Ya sudah.” Jawabnya
sambil tersenyum
“Emm, Mario, boleh aku permisi
sebentar? Aku ke toilet dulu ya”
“Oh ya, silahkan”
Tak lama, ketika aku keluar dari
toilet, aku melihat tempat duduk yang sedari tadi aku duduki dengan Mario sudah
tak berhuni. Kesal segera menyergapku. Namun, ketika aku kembali ke meja itu
ada suka menyelinap masuk.
Maura,
maaf jika aku tak berpamitan terlebih dahulu. Barusan ibuku meneleponku,
menyuruhku untuk pulang. Kedengarannya penting, jadi aku tak bisa menunggu
lagi. Senang berbincang denganmu.
Oh
ya, kalau hujan seperti ini, lebih baik kau pesan kopi panas. Itu bisa membuat
tubuh dan pikiranmu hangat..
See you soon! I’m here every
Friday.
Mario
Aku melihat masih ada sisa minuman
di atas meja itu. Sebuah mug yang ada bekas kopi hitamnya dan cangkir berleher
dengan beberapa es batu yang telah mencair. Cepat-cepat aku memasukan tisu yang
telah berpesan itu ke dalam tasku. Dan pulang membawa senyuman.
****
Hari ini, aku tak perform di café seperti
biasanya. Badanku hangat sejak bangun pagi tadi. Hidungku seperti diganjal batu
besar. Aku tak bisa bernapas. Sejak kecil memang aku seperti ini. Jika imun
tubuhku mulai melemah, aku tak bisa bernapas. Sudah lelah bulak-balik ke rumah
sakit, Mama membelikan ku sebuah tabung oksigen kecil di rumah. Untuk jaga-jaga
jika aku seperti ini lagi. Dan sekarang tabung oksigen sangat berguna sekali.
Tok
tok tok! Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku tak berkutik sedikit
pun. Kepalaku terasa sangat besar. Hanya tidur yang aku lakukan sedari tadi.
“Maura, kau tidak apa-apa?”
Ah
ada orang yang masuk kamarku. Suaranya berat, dan aku mengenalnya. Ketika aku
membuka mataku.
“Ah sudah tak salah lagi, ternyata
kau” senyumku dibalik alat hirupan oksigen.
Mario ikut tersenyum sambil mengusap
kepalan tanganku yang memegang selimut.
“Kau tau darimana kalau aku disini?”
tanyaku masih penasaran
“Kau tak perlu tau, Maura. Yang terpenting
aku sudah bisa melihat keadaanmu sekarang.”
Aku tak bisa membunyikan senyumanku
yang lebar. Kepalaku terasa begitu ringan ketika Mario membuatku tertawa dengan
celotehannya. Kenapa dengan lelaki ini? Padahal aku dengannya baru berkenalan
kemarin.
“Maura, makan sekarang ya?” ia
menyodorkan semangkuk bubur yang kelihatan masih hangat.
“Ah, nanti saja. Aku masih malas,
Mas” keluhku
“Kau mau membantuku tidak?”
“Apa, Mas?”
“Bantu aku agar kau mau makan bubur
ini sekarang. Aku suapi, aku janji” katanya sambil mengacungkan jari telunjuk
dan jari tengahnya yang membuat aku tertawa geli.
“Ok ok, aku mau makan sekarang.” Aku
pasrah. Aku membuka alat bantu hirup yang menempel di hidung dan menutupi
bagian mulut. Mario membantuku, lalu dia menyimpan alat itu di samping tempat
tidur.
“Kau tak apa-apa, Maura?”
Terlihat kekhawatiran dari raut
wajah Mario. Aku memang masih sulit bernapas tanpa alat itu.
“Aku baik-baik aja kok, Mario” aku
tersenyum agar Mario tidak terlalu khawatir dengan keadaanku.
Dia memang benar-benar menyuapiku. Dia
meniup sesendok bubur yang di ambilnya, takut-takut masih panas katanya. Tak terasa,
semangkuk bubur itu telah habis. Lalu Mario menyuruhku untuk meminum obat yang
ada di tangannya.
“Aku pasang lagi ya alat bantunya?”
tanyanya
“Gak usah deh, Mas.”
“Serius nih? Aku pasang lagi ya?”
terdengar sedikit memaksa
“Gak perlu Mas. Aku udah membaik
kok.” Senyumku.
Tak beberapa lama saat
berbincang-bincang, efek obat menyergapku. Rasa kantuk yang sangat berat tidak
dapat aku tahan. Namun, Mario masih saja terus berbicara. Tanpa sadar, aku
sudah menutup mataku. Akan terlelap tidur.
****
“Lelaki yang kemarin kesini itu
siapa, De?” Tanya Mama
“Namanya Mario, Ma.”
“Pacar baru?” goda Mama
“Temen, Ma. Jangan mikir yang
aneh-aneh deh.”
Sejak aku di tinggal mati oleh
pacarku, aku memang tidak terlihat dekat dengan lelaki mana pun. Mama sampai
menyuruhku untuk mencari pasangan baru, agar aku tidak larut dalam kesedihan.
“Temen kok sampai mencium keningmu,
De?”
Mencium?
Kapan? “Kapan keningku dicium, Ma?” tanyaku sangat terkejut
“Mama melihat tulisan dan sketsa
wajahmu sedang tidur. Sudah kau lihat, De?”
“Belum, Mama lihat dimana?”
“Di meja kamarku, Sayang”
Aku yang sedang beristirahat di
depan tv tiba-tiba berdiri dan sedikit berlari menuju kamar. Penasaran sangat
menyergap pikiranku. Banyak yang aku bayangkan sebelum aku melihat semua barang
yang Mama maksud tadi.
Aku
pamit pulang, Maura. Aku tak berani membangunkan tidurmu yang lelap. Lekas sembuh,
Maura. Lekas perform di café seperti biasa J
See you soon!
Mario
Tak sadar aku telah menyunggingkan
senyumku di depan memo itu. Dan di balik itu, kulihat ada sketsa aku sedang
terlelap tidur. Ah..Mario….
Lelaki ini selalu saja bisa
membuatku senyum sendiri, tertawa geli. Mungkin kah dia bisa membuatku
menangis? Aku harap tidak. Aku sudah tidak mau larut dalam kesedihan lagi hanya
karena sebuah perpisahan.
Aku masih punya beberapa pertanyaan.
Namun, satu pertanyaan yang bisa mewakili semua pertanyaan itu adalah, apakah
kita sama-sama saling tertarik satu sama lain? Entahlah. Hanya waktu yang bisa
menjawab.
****