Pages

Jumat, 07 Maret 2014

Kopi Panas #1


           “Hai! Namaku Mario.”
            Aku yang sedang duduk melamun, terkejut ketika seseorang mengulurkan tangan, tanda ingin berkenalan.
            “Ya?” kataku ingin memastikan
            “Namaku Mario. Kau Maura, kan?”
            Ooh..namanya Mario, kataku dalam hati
            Sebelumnya aku tak seperti ini. Yang bisa menerima orang asing di dalam hidupku. Namun ini memang berbeda. Saat pertemuan kali pertama itu, aku langsung tertarik begitu saja dengan kepribadiannya. Tenang, berkarisma dan humoris pula. Cukup lama kita berbincang-bincang setelah perkenalan itu. Kebetulan, memang kita berdua punya satu kesenangan yang sama. Yaitu seni. Aku senang dengan seni musik, sedangkan dia seni rupa. Walaupun kedua konteks itu berbeda, namun ketika berbincang dengannya tak akan kehabisan bahan obrolan.
            “Penampilanmu barusan cukup bagus.”
            “Oh ya? Kau menontonku dari kapan?” kataku, tak menyangka
            “Sejak tadi sore. Aku hanya sekedar duduk dengan kopi panasku.” Katanya
            “Wah, aku tak melihatmu.”
            “Aku hanya ingin memberikan sesuatu untukmu. Ini, ambilah” katanya, sambil memberikanku sebuah kertas berwarna putih yang telah tercoret oleh sebuah gambar, tepatnya sketsa wajahku dengan piano ketika aku perform tadi sore.
            “Kopi panasku memberikanku inspirasi untuk membuat sketsa tentang wajahmu dan pianomu itu.” Sambil tersenyum dia mengangkat cangkir, yang ada bekas mulutnya ketika dia meneguk kopinya.
            “Kopinya kok belum habis, Mas?”
            “Aku terlalu asyik membuat sketsa itu sampai lupa dengan kopi panas ini” sambil menjawab ia tertawa
            “Seserius itukah?” kataku sambil ikut tertawa
            Entah apa yang ada di benakku ketika melihat bola matanya yang cukup besar, bulat dan hitam. Senyumannya yang menawan membuatku tertawa geli sendiri. Ketika keheningan ada di antara kita, aku tak berani menatapnya. Namun, aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa ia sedang menatapku.
            “Ada apa, Mas?” godaku sambil menatap matanya. Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba itu. Beberapa saat dia terjebak dalam tatapan mataku, cepat-cepat dia menjawab “Ah tidak ada apa-apa, Maura” sambil membuang muka.
            Perbincangan itu akan segera berakhir karena waktu telah larut malam.
            “Sudah larut malam, Maura. Kau harus segera pulang.” Katanya
            “Ya sebentar lagi.”
            “Mau aku antar?” ajaknya
            “Terimakasih sebelumnya atas ajakanmu. Tapi aku bawa kendaraan sendiri kok, Mas.”
            “Oh begitu. Ya sudah.” Jawabnya sambil tersenyum
            “Emm, Mario, boleh aku permisi sebentar? Aku ke toilet dulu ya”
            “Oh ya, silahkan”
            Tak lama, ketika aku keluar dari toilet, aku melihat tempat duduk yang sedari tadi aku duduki dengan Mario sudah tak berhuni. Kesal segera menyergapku. Namun, ketika aku kembali ke meja itu ada suka menyelinap masuk.
            Maura, maaf jika aku tak berpamitan terlebih dahulu. Barusan ibuku meneleponku, menyuruhku untuk pulang. Kedengarannya penting, jadi aku tak bisa menunggu lagi. Senang berbincang denganmu.
            Oh ya, kalau hujan seperti ini, lebih baik kau pesan kopi panas. Itu bisa membuat tubuh dan pikiranmu hangat..
See you soon! I’m here every Friday.
Mario
            Aku melihat masih ada sisa minuman di atas meja itu. Sebuah mug yang ada bekas kopi hitamnya dan cangkir berleher dengan beberapa es batu yang telah mencair. Cepat-cepat aku memasukan tisu yang telah berpesan itu ke dalam tasku. Dan pulang membawa senyuman.
****
            Hari ini, aku tak perform di café seperti biasanya. Badanku hangat sejak bangun pagi tadi. Hidungku seperti diganjal batu besar. Aku tak bisa bernapas. Sejak kecil memang aku seperti ini. Jika imun tubuhku mulai melemah, aku tak bisa bernapas. Sudah lelah bulak-balik ke rumah sakit, Mama membelikan ku sebuah tabung oksigen kecil di rumah. Untuk jaga-jaga jika aku seperti ini lagi. Dan sekarang tabung oksigen sangat berguna sekali.
            Tok tok tok! Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku tak berkutik sedikit pun. Kepalaku terasa sangat besar. Hanya tidur yang aku lakukan sedari tadi.
            “Maura, kau tidak apa-apa?”
            Ah ada orang yang masuk kamarku. Suaranya berat, dan aku mengenalnya. Ketika aku membuka mataku.
            “Ah sudah tak salah lagi, ternyata kau” senyumku dibalik alat hirupan oksigen.
            Mario ikut tersenyum sambil mengusap kepalan tanganku yang memegang selimut.
            “Kau tau darimana kalau aku disini?” tanyaku masih penasaran
            “Kau tak perlu tau, Maura. Yang terpenting aku sudah bisa melihat keadaanmu sekarang.”
            Aku tak bisa membunyikan senyumanku yang lebar. Kepalaku terasa begitu ringan ketika Mario membuatku tertawa dengan celotehannya. Kenapa dengan lelaki ini? Padahal aku dengannya baru berkenalan kemarin.
            “Maura, makan sekarang ya?” ia menyodorkan semangkuk bubur yang kelihatan masih hangat.
            “Ah, nanti saja. Aku masih malas, Mas” keluhku
            “Kau mau membantuku tidak?”
            “Apa, Mas?”
            “Bantu aku agar kau mau makan bubur ini sekarang. Aku suapi, aku janji” katanya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang membuat aku tertawa geli.
            “Ok ok, aku mau makan sekarang.” Aku pasrah. Aku membuka alat bantu hirup yang menempel di hidung dan menutupi bagian mulut. Mario membantuku, lalu dia menyimpan alat itu di samping tempat tidur.
            “Kau tak apa-apa, Maura?”
            Terlihat kekhawatiran dari raut wajah Mario. Aku memang masih sulit bernapas tanpa alat itu.
            “Aku baik-baik aja kok, Mario” aku tersenyum agar Mario tidak terlalu khawatir dengan keadaanku.
            Dia memang benar-benar menyuapiku. Dia meniup sesendok bubur yang di ambilnya, takut-takut masih panas katanya. Tak terasa, semangkuk bubur itu telah habis. Lalu Mario menyuruhku untuk meminum obat yang ada di tangannya.
            “Aku pasang lagi ya alat bantunya?” tanyanya
            “Gak usah deh, Mas.”
            “Serius nih? Aku pasang lagi ya?” terdengar sedikit memaksa
            “Gak perlu Mas. Aku udah membaik kok.” Senyumku.
            Tak beberapa lama saat berbincang-bincang, efek obat menyergapku. Rasa kantuk yang sangat berat tidak dapat aku tahan. Namun, Mario masih saja terus berbicara. Tanpa sadar, aku sudah menutup mataku. Akan terlelap tidur.
****
            “Lelaki yang kemarin kesini itu siapa, De?” Tanya Mama
            “Namanya Mario, Ma.”
            “Pacar baru?” goda Mama
            “Temen, Ma. Jangan mikir yang aneh-aneh deh.”
            Sejak aku di tinggal mati oleh pacarku, aku memang tidak terlihat dekat dengan lelaki mana pun. Mama sampai menyuruhku untuk mencari pasangan baru, agar aku tidak larut dalam kesedihan.
            “Temen kok sampai mencium keningmu, De?”
            Mencium? Kapan? “Kapan keningku dicium, Ma?” tanyaku sangat terkejut
            “Mama melihat tulisan dan sketsa wajahmu sedang tidur. Sudah kau lihat, De?”
            “Belum, Mama lihat dimana?”
            “Di meja kamarku, Sayang”
            Aku yang sedang beristirahat di depan tv tiba-tiba berdiri dan sedikit berlari menuju kamar. Penasaran sangat menyergap pikiranku. Banyak yang aku bayangkan sebelum aku melihat semua barang yang Mama maksud tadi.
            Aku pamit pulang, Maura. Aku tak berani membangunkan tidurmu yang lelap. Lekas sembuh, Maura. Lekas perform di café seperti biasa J
See you soon!
Mario
            Tak sadar aku telah menyunggingkan senyumku di depan memo itu. Dan di balik itu, kulihat ada sketsa aku sedang terlelap tidur. Ah..Mario….
            Lelaki ini selalu saja bisa membuatku senyum sendiri, tertawa geli. Mungkin kah dia bisa membuatku menangis? Aku harap tidak. Aku sudah tidak mau larut dalam kesedihan lagi hanya karena sebuah perpisahan.
            Aku masih punya beberapa pertanyaan. Namun, satu pertanyaan yang bisa mewakili semua pertanyaan itu adalah, apakah kita sama-sama saling tertarik satu sama lain? Entahlah. Hanya waktu yang bisa menjawab.
****

0 komentar:

Posting Komentar