Lama setelah
kejadian yang kudengar dari Mama, aku belum bertemu dengan sesosok lelaki yang
belum ku ketahui identitasnya secara lengkap itu. Melihat batang hidungnya pun
belum. Kemana Mario? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang ketika aku
di rumah maupun ketika aku perform di cafe seperti biasa.
Namun, suatu
ketika, aku pergi ke salah satu Music Store di dekat cafe itu. Ketika itu, aku
sedang mencari album terbaru dari salah seorang penyanyi favoritku. Aku
mengitari tiap sudut toko itu, sampai pada akhirnya aku menyerah karena belum
menemukan CD yang aku maksud. Aku berniat untuk menanyakannya langsung kepada
petugas kasir.
“Mas, album
terbaru dari Tulus udah ada belum?”
“Tulus? Sudah,
Mba.” Kata petugas kasir
“Tapi kok gak ada
ya? Tadi aku sudah cari-cari di tiap rak”
“Tunggu sebentar
ya, Mba. Saya akan carikan” Mas Petugas Kasir pun pergi untuk mencari album
lagu yang aku maksud.
Ketika itu, suara
pintu toko terbuka diikuti dengan tawa seorang wanita yang menggandeng seorang
lelaki, yang terdengar begitu bahagia. Tanpa sadar, aku menengok sumber suara.
Aku shock. Kedua
kakiku lemas ketika mengetahui siapa yang telah aku lihat.
“Maura? Ngapain
disini?” dengan polos dia bertanya.
“Ya..beli CD
lah..” jawabku singkat.
Aku sangat ingin
mengeluarkan semua pertanyaan yang telah aku tumpuk sejak lama. Namun, aku
tiba-tiba tak berani. Melihat wajahnya saja aku enggan.
“Mas, aku cari CDnya
dulu ya” kata seorang wanita tadi yang beranjak ke dalam toko.
“Wanita
itu...siapa, Mario?” aku memberanikan diri.
Belum sempat Mario
menjawab, petugas kasir telah datang kembali membawa sebuah CD.
“Mba, album yang
dimaksud ini bukan?”
“Bukan, Mas. Itu
album yang dulu.” Keluhku kepada petugas kasir
“Oh ya berarti
yang satu lagi. Bentar ya, mba saya ambilkan dulu”
“Eh gimana
kabarnya? Udah membaik kan?” tanya Mario ketika petugas kasir itu sudah
beranjak lagi.
“Pertanyaanku tadi
belum dijawab.” Jawabku dengan ketus
Tampak ragu
terlihat dari wajahnya ketika dia akan menjawab pertanyaanku. Aku tidak ingin
membicarakan hal lain selain membicarakan siapa wanita yang bersama Mario itu. Namun,
Mario enggan sekali menjawab pertanyaanku itu.
Keheningan ada di
antara kami berdua. Sungguh, aku tak berani menatap wajahnya sebelum ia
menjawab pertanyaanku itu.
“Dia tunanganku,
Maura” katanya dengan singkat dan tegas.
Entah apa yang aku
rasakan saat itu. Yang bisa aku rasakan hanyalah kepalaku yang tiba-tiba
memanas. Tunangan? Lalu, dulu aku apa? Berbagai pertanyaan menggebu-gebu
pikiran. Dadaku rasanya sesak sekali. Yang aku inginkan saat itu hanyalah
keluar dan menjauh darinya.
Tanpa pikir
panjang, aku berjalan keluar dari toko itu tanpa pamit kepada lelaki itu, tanpa
perduli dengan petugas kasir yang sedang mencarikan CD yang aku maksud. Sedikit
berlari aku pergi meninggalkan toko itu. Pergi tanpa tujuan. Saat itu cuaca
terasa dingin setelah tadi pagi hujan menemani kota ini.
Kakiku memintaku
berlari, dan aku pun berlari walaupun napasku terasa tersengal-sengal. Pipiku
terasa hangat oleh air mata yang sedari tadi mengalir. Aku menengok ke
belakang, sudah cukup jauh aku berlari. Namun, tiba-tiba badanku lemas.
Pandanganku mulai kabur. Tanpa sadar aku berjalan sempoyongan. Dan akhirnya
terjatuh. Aku tak ingat apa-apa setelah itu.
****
Saat aku membuka
mata, aku hanya melihat ruangan serba putih disana. Kepalaku terasa begitu
berat. Ku lihat pakaianku hanya selembar kaos panjang tanpa jaket yang aku
kenakan tadi. Selang oksigen menempel di hidungku. Siapa yang membawaku ke
rumah sakit?
Aku melihat ke
meja kecil samping tempat tidur. Ternyata sudah larut malam. Tak sengaja, ku
lihat ada album baru penyanyi favoritku disana. Aku mengingat-ngingat. Karena
tadi belum sempat aku membeli CD itu. Mengingat kejadian tadi sore sangatlah
menyayat hati. Benci rasanya mengingat sosok lelaki itu. Benci mengingat semua
yang telah terjadi antara aku dengannya. Tanpa sadar, air mata mengalir lagi.
Saat itu aku menyempatkan diri untuk menangis sampai terisak-isak. Aku duduk
dan memeluk diriku sendiri dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
“Maura, jangan
menangis. Aku mohon”
Suara itu sangat
mengejutkanku. Aku tak berani untuk melihat wajahnya, karena aku telah mengenal
suaranya dengan baik. Tangisanku tak kunjung berhenti. Aku masih terisak-isak.
Aku memegang dadaku yang terasa begitu sakit. Napasku tersengal-sengal lagi.
Tiba-tiba ia memelukku. Sungguh sangat erat.
Aku bingung dengan
perasaanku saat itu. Campur aduk rasanya.
“Maura, aku mohon
berhentilah menangis. Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini” pintanya
dengan nada iba.
Ia masih
memelukku. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aku ingin
melepaskannya tapi aku benar-benar membutuhkan pelukan ini. Pelukan yang dapat
mengobati dadaku yang terlanjur sakit.
Akhirnya aku
membalas pelukan itu. Aku menangis terisak-isak di dalam pelukannya. Aku
memeluknya dengan erat, seolah-olah tak ingin kehilangan dia.
“Maafkan aku
Maura. Aku tak bermaksud menyakitimu. Sungguh” suara Mario terdengar begitu
hangat di telingaku. Pelukannya belum lepas saat itu.
“Aku memang sudah
bertunangan dengannya sejak 2 bulan yang lalu” “Saat kita belum berkenalan satu
sama lain” lanjutnya.
Dia mengusap
kepalaku dengan lembut. Namun, aku tak ingin berkata apa-apa. Aku hanya ingin
dia tidak beranjak pergi. Ketika tangisanku berhenti. Aku melepaskan
pelukannya. Aku menatap wajahnya, dan tersenyum kepadanya.
“Sudahlah Mario.
Jangan merasa bersalah seperti itu”
“Tapi Maura a-“
“Ssstt...pergilah
dengan tunanganmu itu. Aku baik-baik saja disini” kataku sambil memberikan
isyarat untuk tidak berbicara lagi.
“Maura...”
“Sudahlah Mario”
kataku sambil tersenyum dengan mataku yg terasa lembab sehabis menangis
Dia mengerti
dengan isyarat yang aku beri. Dia mengenakan jaketnya beranjak untuk pergi. Wajahnya
terlihat begitu khawatir dengan keadaanku. Namun aku terus memasang wajah
tersenyum terbaikku untuknya.
“Maura, izinkan
aku berbiacara satu kali lagi” pintanya
“Ya, apa, Mas?”
“Aku sayang kamu,
Maura”
Sambil tersenyum
aku jawab “Ya aku tahu itu, Mas”
Dia enggan pergi
sekarang, namun aku memberikan isyarat lagi bahwa aku baik-baik saja dan dia
harus pergi. Terlihat dengan langkah berat, dia keluar dari ruangan rawatku dan
pintu ditutup rapat olehnya. Kesunyian pun segera datang menyelimutiku.
****
Banyak orang
bilang, bahwa cinta hanya manis di awal saja. Setujukah kau akan hal itu?
Kenyataannya memang seperti itu. Tapi cinta akan terus terasa manis, jika kita
bisa mempersiapkan untuk segala sesuatunya. Kau tahu? Aku telah mempelajari itu
semua setelah aku menjadi pelanggan kopi panas di cafe itu.
Kopi panas terasa pahit di lidahku. Air panasnya tak akan bertahan
lama. Meminum kopi panas harus pelan-pelan, karena airnya begitu panas. Jika
diminumnya terlalu terburu-buru, itu dapat melukai lidahku. Seperti halnya kita
berbicara soal perasaan. Perasaan orang tak dapat dipaksakan, tak dapat
diambilnya dengan buru-buru. Dengan buru-buru dan paksaan, itu dapat melukai
hatimu.
Pahit mengingatkan kita, bahwa di dunia tidak ada kata manis tanpa
pahit. Nikmatilah apa-apa yang kau dapatkan sekarang. Jangan paksakan sesuatu
yang tak sama dengan keadaanmu. Terus berpikir positif dengan apa yang kau
hadapi. Rasa syukur ibaratkan gula. Sesuatu yang pahit akan terasa manis jika
kita pandai menambahkan gula. Kejadian tak kita harapkan terasa sangat berharga
jika kita pandai bersyukur.
Kita sadar ingin bersama...
Tapi tak bisa apa-apa...
Terasa lengkap bila kita berdua..
Terasa sedih bila kita di rak berbeda..
Di dekatmu kotak bagai nirwana..
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya..
Setelah perform dengan lagu itu, aku duduk di sudut cafe yang biasa
aku duduki. Terasa dingin di cafe itu, mungkin angin hujan di luar masuk begitu
saja ke dalam cafe. Ku kenakan jaketku yang agak tebal dan memesan sebuah
meminuman kepada seorang pelayan. Selagi minuman pesananku dibuatkan, ku
memandangi sekitar cafe yang sedang tidak ramai dengan pengunjung. Memori
terdahulu tiba-tiba muncul keluar, mengingatkanku tentang seseorang.
Setelah hampir setengah tahun aku tak melihat sosoknya. Kabar pun
aku dapatkan hanya dari kabar-kabar burung yang entah benar adanya. Namun,
ketika aku mendengar kabar bahwa ia akan segera menikah dengan tunangannya yang
tak sempat aku kenali itu, renyuh terasa kembali.
Kuhirup kopi panas pesananku yang telah datang. Tersenyum sendiri
ketika aku mengingat kembali itu semua. Ku menyeka air mataku yang membasahi
pipi sambil menuliskan sebuah kata-kata dari seorang penyair di atas selembar
tisue yang entah ku tujukan untuk siapa.
Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu..
0 komentar:
Posting Komentar