Pages

Jumat, 25 April 2014

Kopi Panas #2


            Lama setelah kejadian yang kudengar dari Mama, aku belum bertemu dengan sesosok lelaki yang belum ku ketahui identitasnya secara lengkap itu. Melihat batang hidungnya pun belum. Kemana Mario? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang ketika aku di rumah maupun ketika aku perform di cafe seperti biasa.
            Namun, suatu ketika, aku pergi ke salah satu Music Store di dekat cafe itu. Ketika itu, aku sedang mencari album terbaru dari salah seorang penyanyi favoritku. Aku mengitari tiap sudut toko itu, sampai pada akhirnya aku menyerah karena belum menemukan CD yang aku maksud. Aku berniat untuk menanyakannya langsung kepada petugas kasir.
            “Mas, album terbaru dari Tulus udah ada belum?”
            “Tulus? Sudah, Mba.” Kata petugas kasir
            “Tapi kok gak ada ya? Tadi aku sudah cari-cari di tiap rak”
            “Tunggu sebentar ya, Mba. Saya akan carikan” Mas Petugas Kasir pun pergi untuk mencari album lagu yang aku maksud.
            Ketika itu, suara pintu toko terbuka diikuti dengan tawa seorang wanita yang menggandeng seorang lelaki, yang terdengar begitu bahagia. Tanpa sadar, aku menengok sumber suara.
            Aku shock. Kedua kakiku lemas ketika mengetahui siapa yang telah aku lihat.
            “Maura? Ngapain disini?” dengan polos dia bertanya.
            “Ya..beli CD lah..” jawabku singkat.
            Aku sangat ingin mengeluarkan semua pertanyaan yang telah aku tumpuk sejak lama. Namun, aku tiba-tiba tak berani. Melihat wajahnya saja aku enggan.
            “Mas, aku cari CDnya dulu ya” kata seorang wanita tadi yang beranjak ke dalam toko.
            “Wanita itu...siapa, Mario?” aku memberanikan diri.
            Belum sempat Mario menjawab, petugas kasir telah datang kembali membawa sebuah CD.
            “Mba, album yang dimaksud ini bukan?”
            “Bukan, Mas. Itu album yang dulu.” Keluhku kepada petugas kasir
            “Oh ya berarti yang satu lagi. Bentar ya, mba saya ambilkan dulu”
            “Eh gimana kabarnya? Udah membaik kan?” tanya Mario ketika petugas kasir itu sudah beranjak lagi.
            “Pertanyaanku tadi belum dijawab.” Jawabku dengan ketus
            Tampak ragu terlihat dari wajahnya ketika dia akan menjawab pertanyaanku. Aku tidak ingin membicarakan hal lain selain membicarakan siapa wanita yang bersama Mario itu. Namun, Mario enggan sekali menjawab pertanyaanku itu.
            Keheningan ada di antara kami berdua. Sungguh, aku tak berani menatap wajahnya sebelum ia menjawab pertanyaanku itu.
            “Dia tunanganku, Maura” katanya dengan singkat dan tegas.
            Entah apa yang aku rasakan saat itu. Yang bisa aku rasakan hanyalah kepalaku yang tiba-tiba memanas. Tunangan? Lalu, dulu aku apa? Berbagai pertanyaan menggebu-gebu pikiran. Dadaku rasanya sesak sekali. Yang aku inginkan saat itu hanyalah keluar dan menjauh darinya.
            Tanpa pikir panjang, aku berjalan keluar dari toko itu tanpa pamit kepada lelaki itu, tanpa perduli dengan petugas kasir yang sedang mencarikan CD yang aku maksud. Sedikit berlari aku pergi meninggalkan toko itu. Pergi tanpa tujuan. Saat itu cuaca terasa dingin setelah tadi pagi hujan menemani kota ini.
            Kakiku memintaku berlari, dan aku pun berlari walaupun napasku terasa tersengal-sengal. Pipiku terasa hangat oleh air mata yang sedari tadi mengalir. Aku menengok ke belakang, sudah cukup jauh aku berlari. Namun, tiba-tiba badanku lemas. Pandanganku mulai kabur. Tanpa sadar aku berjalan sempoyongan. Dan akhirnya terjatuh. Aku tak ingat apa-apa setelah itu.
****
            Saat aku membuka mata, aku hanya melihat ruangan serba putih disana. Kepalaku terasa begitu berat. Ku lihat pakaianku hanya selembar kaos panjang tanpa jaket yang aku kenakan tadi. Selang oksigen menempel di hidungku. Siapa yang membawaku ke rumah sakit?
            Aku melihat ke meja kecil samping tempat tidur. Ternyata sudah larut malam. Tak sengaja, ku lihat ada album baru penyanyi favoritku disana. Aku mengingat-ngingat. Karena tadi belum sempat aku membeli CD itu. Mengingat kejadian tadi sore sangatlah menyayat hati. Benci rasanya mengingat sosok lelaki itu. Benci mengingat semua yang telah terjadi antara aku dengannya. Tanpa sadar, air mata mengalir lagi. Saat itu aku menyempatkan diri untuk menangis sampai terisak-isak. Aku duduk dan memeluk diriku sendiri dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
            “Maura, jangan menangis. Aku mohon”
            Suara itu sangat mengejutkanku. Aku tak berani untuk melihat wajahnya, karena aku telah mengenal suaranya dengan baik. Tangisanku tak kunjung berhenti. Aku masih terisak-isak. Aku memegang dadaku yang terasa begitu sakit. Napasku tersengal-sengal lagi. Tiba-tiba ia memelukku. Sungguh sangat erat.
            Aku bingung dengan perasaanku saat itu. Campur aduk rasanya.
            “Maura, aku mohon berhentilah menangis. Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini” pintanya dengan nada iba.
            Ia masih memelukku. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aku ingin melepaskannya tapi aku benar-benar membutuhkan pelukan ini. Pelukan yang dapat mengobati dadaku yang terlanjur sakit.
            Akhirnya aku membalas pelukan itu. Aku menangis terisak-isak di dalam pelukannya. Aku memeluknya dengan erat, seolah-olah tak ingin kehilangan dia.
            “Maafkan aku Maura. Aku tak bermaksud menyakitimu. Sungguh” suara Mario terdengar begitu hangat di telingaku. Pelukannya belum lepas saat itu.
            “Aku memang sudah bertunangan dengannya sejak 2 bulan yang lalu” “Saat kita belum berkenalan satu sama lain” lanjutnya.
            Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Namun, aku tak ingin berkata apa-apa. Aku hanya ingin dia tidak beranjak pergi. Ketika tangisanku berhenti. Aku melepaskan pelukannya. Aku menatap wajahnya, dan tersenyum kepadanya.
            “Sudahlah Mario. Jangan merasa bersalah seperti itu”
            “Tapi Maura a-“
            “Ssstt...pergilah dengan tunanganmu itu. Aku baik-baik saja disini” kataku sambil memberikan isyarat untuk tidak berbicara lagi.
            “Maura...”
            “Sudahlah Mario” kataku sambil tersenyum dengan mataku yg terasa lembab sehabis menangis
            Dia mengerti dengan isyarat yang aku beri. Dia mengenakan jaketnya beranjak untuk pergi. Wajahnya terlihat begitu khawatir dengan keadaanku. Namun aku terus memasang wajah tersenyum terbaikku untuknya.
            “Maura, izinkan aku berbiacara satu kali lagi” pintanya
            “Ya, apa, Mas?”
            “Aku sayang kamu, Maura”
            Sambil tersenyum aku jawab “Ya aku tahu itu, Mas”
            Dia enggan pergi sekarang, namun aku memberikan isyarat lagi bahwa aku baik-baik saja dan dia harus pergi. Terlihat dengan langkah berat, dia keluar dari ruangan rawatku dan pintu ditutup rapat olehnya. Kesunyian pun segera datang menyelimutiku.
****
            Banyak orang bilang, bahwa cinta hanya manis di awal saja. Setujukah kau akan hal itu? Kenyataannya memang seperti itu. Tapi cinta akan terus terasa manis, jika kita bisa mempersiapkan untuk segala sesuatunya. Kau tahu? Aku telah mempelajari itu semua setelah aku menjadi pelanggan kopi panas di cafe itu.
Kopi panas terasa pahit di lidahku. Air panasnya tak akan bertahan lama. Meminum kopi panas harus pelan-pelan, karena airnya begitu panas. Jika diminumnya terlalu terburu-buru, itu dapat melukai lidahku. Seperti halnya kita berbicara soal perasaan. Perasaan orang tak dapat dipaksakan, tak dapat diambilnya dengan buru-buru. Dengan buru-buru dan paksaan, itu dapat melukai hatimu.
Pahit mengingatkan kita, bahwa di dunia tidak ada kata manis tanpa pahit. Nikmatilah apa-apa yang kau dapatkan sekarang. Jangan paksakan sesuatu yang tak sama dengan keadaanmu. Terus berpikir positif dengan apa yang kau hadapi. Rasa syukur ibaratkan gula. Sesuatu yang pahit akan terasa manis jika kita pandai menambahkan gula. Kejadian tak kita harapkan terasa sangat berharga jika kita pandai bersyukur.
Kita sadar ingin bersama...
Tapi tak bisa apa-apa...
Terasa lengkap bila kita berdua..
Terasa sedih bila kita di rak berbeda..
Di dekatmu kotak bagai nirwana..
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya..
Setelah perform dengan lagu itu, aku duduk di sudut cafe yang biasa aku duduki. Terasa dingin di cafe itu, mungkin angin hujan di luar masuk begitu saja ke dalam cafe. Ku kenakan jaketku yang agak tebal dan memesan sebuah meminuman kepada seorang pelayan. Selagi minuman pesananku dibuatkan, ku memandangi sekitar cafe yang sedang tidak ramai dengan pengunjung. Memori terdahulu tiba-tiba muncul keluar, mengingatkanku tentang seseorang.
Setelah hampir setengah tahun aku tak melihat sosoknya. Kabar pun aku dapatkan hanya dari kabar-kabar burung yang entah benar adanya. Namun, ketika aku mendengar kabar bahwa ia akan segera menikah dengan tunangannya yang tak sempat aku kenali itu, renyuh terasa kembali.
Kuhirup kopi panas pesananku yang telah datang. Tersenyum sendiri ketika aku mengingat kembali itu semua. Ku menyeka air mataku yang membasahi pipi sambil menuliskan sebuah kata-kata dari seorang penyair di atas selembar tisue yang entah ku tujukan untuk siapa.
Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu..

0 komentar:

Posting Komentar