Pages

Jumat, 25 April 2014

Kopi Panas #2

0 komentar

            Lama setelah kejadian yang kudengar dari Mama, aku belum bertemu dengan sesosok lelaki yang belum ku ketahui identitasnya secara lengkap itu. Melihat batang hidungnya pun belum. Kemana Mario? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang ketika aku di rumah maupun ketika aku perform di cafe seperti biasa.
            Namun, suatu ketika, aku pergi ke salah satu Music Store di dekat cafe itu. Ketika itu, aku sedang mencari album terbaru dari salah seorang penyanyi favoritku. Aku mengitari tiap sudut toko itu, sampai pada akhirnya aku menyerah karena belum menemukan CD yang aku maksud. Aku berniat untuk menanyakannya langsung kepada petugas kasir.
            “Mas, album terbaru dari Tulus udah ada belum?”
            “Tulus? Sudah, Mba.” Kata petugas kasir
            “Tapi kok gak ada ya? Tadi aku sudah cari-cari di tiap rak”
            “Tunggu sebentar ya, Mba. Saya akan carikan” Mas Petugas Kasir pun pergi untuk mencari album lagu yang aku maksud.
            Ketika itu, suara pintu toko terbuka diikuti dengan tawa seorang wanita yang menggandeng seorang lelaki, yang terdengar begitu bahagia. Tanpa sadar, aku menengok sumber suara.
            Aku shock. Kedua kakiku lemas ketika mengetahui siapa yang telah aku lihat.
            “Maura? Ngapain disini?” dengan polos dia bertanya.
            “Ya..beli CD lah..” jawabku singkat.
            Aku sangat ingin mengeluarkan semua pertanyaan yang telah aku tumpuk sejak lama. Namun, aku tiba-tiba tak berani. Melihat wajahnya saja aku enggan.
            “Mas, aku cari CDnya dulu ya” kata seorang wanita tadi yang beranjak ke dalam toko.
            “Wanita itu...siapa, Mario?” aku memberanikan diri.
            Belum sempat Mario menjawab, petugas kasir telah datang kembali membawa sebuah CD.
            “Mba, album yang dimaksud ini bukan?”
            “Bukan, Mas. Itu album yang dulu.” Keluhku kepada petugas kasir
            “Oh ya berarti yang satu lagi. Bentar ya, mba saya ambilkan dulu”
            “Eh gimana kabarnya? Udah membaik kan?” tanya Mario ketika petugas kasir itu sudah beranjak lagi.
            “Pertanyaanku tadi belum dijawab.” Jawabku dengan ketus
            Tampak ragu terlihat dari wajahnya ketika dia akan menjawab pertanyaanku. Aku tidak ingin membicarakan hal lain selain membicarakan siapa wanita yang bersama Mario itu. Namun, Mario enggan sekali menjawab pertanyaanku itu.
            Keheningan ada di antara kami berdua. Sungguh, aku tak berani menatap wajahnya sebelum ia menjawab pertanyaanku itu.
            “Dia tunanganku, Maura” katanya dengan singkat dan tegas.
            Entah apa yang aku rasakan saat itu. Yang bisa aku rasakan hanyalah kepalaku yang tiba-tiba memanas. Tunangan? Lalu, dulu aku apa? Berbagai pertanyaan menggebu-gebu pikiran. Dadaku rasanya sesak sekali. Yang aku inginkan saat itu hanyalah keluar dan menjauh darinya.
            Tanpa pikir panjang, aku berjalan keluar dari toko itu tanpa pamit kepada lelaki itu, tanpa perduli dengan petugas kasir yang sedang mencarikan CD yang aku maksud. Sedikit berlari aku pergi meninggalkan toko itu. Pergi tanpa tujuan. Saat itu cuaca terasa dingin setelah tadi pagi hujan menemani kota ini.
            Kakiku memintaku berlari, dan aku pun berlari walaupun napasku terasa tersengal-sengal. Pipiku terasa hangat oleh air mata yang sedari tadi mengalir. Aku menengok ke belakang, sudah cukup jauh aku berlari. Namun, tiba-tiba badanku lemas. Pandanganku mulai kabur. Tanpa sadar aku berjalan sempoyongan. Dan akhirnya terjatuh. Aku tak ingat apa-apa setelah itu.
****
            Saat aku membuka mata, aku hanya melihat ruangan serba putih disana. Kepalaku terasa begitu berat. Ku lihat pakaianku hanya selembar kaos panjang tanpa jaket yang aku kenakan tadi. Selang oksigen menempel di hidungku. Siapa yang membawaku ke rumah sakit?
            Aku melihat ke meja kecil samping tempat tidur. Ternyata sudah larut malam. Tak sengaja, ku lihat ada album baru penyanyi favoritku disana. Aku mengingat-ngingat. Karena tadi belum sempat aku membeli CD itu. Mengingat kejadian tadi sore sangatlah menyayat hati. Benci rasanya mengingat sosok lelaki itu. Benci mengingat semua yang telah terjadi antara aku dengannya. Tanpa sadar, air mata mengalir lagi. Saat itu aku menyempatkan diri untuk menangis sampai terisak-isak. Aku duduk dan memeluk diriku sendiri dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
            “Maura, jangan menangis. Aku mohon”
            Suara itu sangat mengejutkanku. Aku tak berani untuk melihat wajahnya, karena aku telah mengenal suaranya dengan baik. Tangisanku tak kunjung berhenti. Aku masih terisak-isak. Aku memegang dadaku yang terasa begitu sakit. Napasku tersengal-sengal lagi. Tiba-tiba ia memelukku. Sungguh sangat erat.
            Aku bingung dengan perasaanku saat itu. Campur aduk rasanya.
            “Maura, aku mohon berhentilah menangis. Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini” pintanya dengan nada iba.
            Ia masih memelukku. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aku ingin melepaskannya tapi aku benar-benar membutuhkan pelukan ini. Pelukan yang dapat mengobati dadaku yang terlanjur sakit.
            Akhirnya aku membalas pelukan itu. Aku menangis terisak-isak di dalam pelukannya. Aku memeluknya dengan erat, seolah-olah tak ingin kehilangan dia.
            “Maafkan aku Maura. Aku tak bermaksud menyakitimu. Sungguh” suara Mario terdengar begitu hangat di telingaku. Pelukannya belum lepas saat itu.
            “Aku memang sudah bertunangan dengannya sejak 2 bulan yang lalu” “Saat kita belum berkenalan satu sama lain” lanjutnya.
            Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Namun, aku tak ingin berkata apa-apa. Aku hanya ingin dia tidak beranjak pergi. Ketika tangisanku berhenti. Aku melepaskan pelukannya. Aku menatap wajahnya, dan tersenyum kepadanya.
            “Sudahlah Mario. Jangan merasa bersalah seperti itu”
            “Tapi Maura a-“
            “Ssstt...pergilah dengan tunanganmu itu. Aku baik-baik saja disini” kataku sambil memberikan isyarat untuk tidak berbicara lagi.
            “Maura...”
            “Sudahlah Mario” kataku sambil tersenyum dengan mataku yg terasa lembab sehabis menangis
            Dia mengerti dengan isyarat yang aku beri. Dia mengenakan jaketnya beranjak untuk pergi. Wajahnya terlihat begitu khawatir dengan keadaanku. Namun aku terus memasang wajah tersenyum terbaikku untuknya.
            “Maura, izinkan aku berbiacara satu kali lagi” pintanya
            “Ya, apa, Mas?”
            “Aku sayang kamu, Maura”
            Sambil tersenyum aku jawab “Ya aku tahu itu, Mas”
            Dia enggan pergi sekarang, namun aku memberikan isyarat lagi bahwa aku baik-baik saja dan dia harus pergi. Terlihat dengan langkah berat, dia keluar dari ruangan rawatku dan pintu ditutup rapat olehnya. Kesunyian pun segera datang menyelimutiku.
****
            Banyak orang bilang, bahwa cinta hanya manis di awal saja. Setujukah kau akan hal itu? Kenyataannya memang seperti itu. Tapi cinta akan terus terasa manis, jika kita bisa mempersiapkan untuk segala sesuatunya. Kau tahu? Aku telah mempelajari itu semua setelah aku menjadi pelanggan kopi panas di cafe itu.
Kopi panas terasa pahit di lidahku. Air panasnya tak akan bertahan lama. Meminum kopi panas harus pelan-pelan, karena airnya begitu panas. Jika diminumnya terlalu terburu-buru, itu dapat melukai lidahku. Seperti halnya kita berbicara soal perasaan. Perasaan orang tak dapat dipaksakan, tak dapat diambilnya dengan buru-buru. Dengan buru-buru dan paksaan, itu dapat melukai hatimu.
Pahit mengingatkan kita, bahwa di dunia tidak ada kata manis tanpa pahit. Nikmatilah apa-apa yang kau dapatkan sekarang. Jangan paksakan sesuatu yang tak sama dengan keadaanmu. Terus berpikir positif dengan apa yang kau hadapi. Rasa syukur ibaratkan gula. Sesuatu yang pahit akan terasa manis jika kita pandai menambahkan gula. Kejadian tak kita harapkan terasa sangat berharga jika kita pandai bersyukur.
Kita sadar ingin bersama...
Tapi tak bisa apa-apa...
Terasa lengkap bila kita berdua..
Terasa sedih bila kita di rak berbeda..
Di dekatmu kotak bagai nirwana..
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya..
Setelah perform dengan lagu itu, aku duduk di sudut cafe yang biasa aku duduki. Terasa dingin di cafe itu, mungkin angin hujan di luar masuk begitu saja ke dalam cafe. Ku kenakan jaketku yang agak tebal dan memesan sebuah meminuman kepada seorang pelayan. Selagi minuman pesananku dibuatkan, ku memandangi sekitar cafe yang sedang tidak ramai dengan pengunjung. Memori terdahulu tiba-tiba muncul keluar, mengingatkanku tentang seseorang.
Setelah hampir setengah tahun aku tak melihat sosoknya. Kabar pun aku dapatkan hanya dari kabar-kabar burung yang entah benar adanya. Namun, ketika aku mendengar kabar bahwa ia akan segera menikah dengan tunangannya yang tak sempat aku kenali itu, renyuh terasa kembali.
Kuhirup kopi panas pesananku yang telah datang. Tersenyum sendiri ketika aku mengingat kembali itu semua. Ku menyeka air mataku yang membasahi pipi sambil menuliskan sebuah kata-kata dari seorang penyair di atas selembar tisue yang entah ku tujukan untuk siapa.
Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu..

Jumat, 07 Maret 2014

Kopi Panas #1

0 komentar

           “Hai! Namaku Mario.”
            Aku yang sedang duduk melamun, terkejut ketika seseorang mengulurkan tangan, tanda ingin berkenalan.
            “Ya?” kataku ingin memastikan
            “Namaku Mario. Kau Maura, kan?”
            Ooh..namanya Mario, kataku dalam hati
            Sebelumnya aku tak seperti ini. Yang bisa menerima orang asing di dalam hidupku. Namun ini memang berbeda. Saat pertemuan kali pertama itu, aku langsung tertarik begitu saja dengan kepribadiannya. Tenang, berkarisma dan humoris pula. Cukup lama kita berbincang-bincang setelah perkenalan itu. Kebetulan, memang kita berdua punya satu kesenangan yang sama. Yaitu seni. Aku senang dengan seni musik, sedangkan dia seni rupa. Walaupun kedua konteks itu berbeda, namun ketika berbincang dengannya tak akan kehabisan bahan obrolan.
            “Penampilanmu barusan cukup bagus.”
            “Oh ya? Kau menontonku dari kapan?” kataku, tak menyangka
            “Sejak tadi sore. Aku hanya sekedar duduk dengan kopi panasku.” Katanya
            “Wah, aku tak melihatmu.”
            “Aku hanya ingin memberikan sesuatu untukmu. Ini, ambilah” katanya, sambil memberikanku sebuah kertas berwarna putih yang telah tercoret oleh sebuah gambar, tepatnya sketsa wajahku dengan piano ketika aku perform tadi sore.
            “Kopi panasku memberikanku inspirasi untuk membuat sketsa tentang wajahmu dan pianomu itu.” Sambil tersenyum dia mengangkat cangkir, yang ada bekas mulutnya ketika dia meneguk kopinya.
            “Kopinya kok belum habis, Mas?”
            “Aku terlalu asyik membuat sketsa itu sampai lupa dengan kopi panas ini” sambil menjawab ia tertawa
            “Seserius itukah?” kataku sambil ikut tertawa
            Entah apa yang ada di benakku ketika melihat bola matanya yang cukup besar, bulat dan hitam. Senyumannya yang menawan membuatku tertawa geli sendiri. Ketika keheningan ada di antara kita, aku tak berani menatapnya. Namun, aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa ia sedang menatapku.
            “Ada apa, Mas?” godaku sambil menatap matanya. Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba itu. Beberapa saat dia terjebak dalam tatapan mataku, cepat-cepat dia menjawab “Ah tidak ada apa-apa, Maura” sambil membuang muka.
            Perbincangan itu akan segera berakhir karena waktu telah larut malam.
            “Sudah larut malam, Maura. Kau harus segera pulang.” Katanya
            “Ya sebentar lagi.”
            “Mau aku antar?” ajaknya
            “Terimakasih sebelumnya atas ajakanmu. Tapi aku bawa kendaraan sendiri kok, Mas.”
            “Oh begitu. Ya sudah.” Jawabnya sambil tersenyum
            “Emm, Mario, boleh aku permisi sebentar? Aku ke toilet dulu ya”
            “Oh ya, silahkan”
            Tak lama, ketika aku keluar dari toilet, aku melihat tempat duduk yang sedari tadi aku duduki dengan Mario sudah tak berhuni. Kesal segera menyergapku. Namun, ketika aku kembali ke meja itu ada suka menyelinap masuk.
            Maura, maaf jika aku tak berpamitan terlebih dahulu. Barusan ibuku meneleponku, menyuruhku untuk pulang. Kedengarannya penting, jadi aku tak bisa menunggu lagi. Senang berbincang denganmu.
            Oh ya, kalau hujan seperti ini, lebih baik kau pesan kopi panas. Itu bisa membuat tubuh dan pikiranmu hangat..
See you soon! I’m here every Friday.
Mario
            Aku melihat masih ada sisa minuman di atas meja itu. Sebuah mug yang ada bekas kopi hitamnya dan cangkir berleher dengan beberapa es batu yang telah mencair. Cepat-cepat aku memasukan tisu yang telah berpesan itu ke dalam tasku. Dan pulang membawa senyuman.
****
            Hari ini, aku tak perform di café seperti biasanya. Badanku hangat sejak bangun pagi tadi. Hidungku seperti diganjal batu besar. Aku tak bisa bernapas. Sejak kecil memang aku seperti ini. Jika imun tubuhku mulai melemah, aku tak bisa bernapas. Sudah lelah bulak-balik ke rumah sakit, Mama membelikan ku sebuah tabung oksigen kecil di rumah. Untuk jaga-jaga jika aku seperti ini lagi. Dan sekarang tabung oksigen sangat berguna sekali.
            Tok tok tok! Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku tak berkutik sedikit pun. Kepalaku terasa sangat besar. Hanya tidur yang aku lakukan sedari tadi.
            “Maura, kau tidak apa-apa?”
            Ah ada orang yang masuk kamarku. Suaranya berat, dan aku mengenalnya. Ketika aku membuka mataku.
            “Ah sudah tak salah lagi, ternyata kau” senyumku dibalik alat hirupan oksigen.
            Mario ikut tersenyum sambil mengusap kepalan tanganku yang memegang selimut.
            “Kau tau darimana kalau aku disini?” tanyaku masih penasaran
            “Kau tak perlu tau, Maura. Yang terpenting aku sudah bisa melihat keadaanmu sekarang.”
            Aku tak bisa membunyikan senyumanku yang lebar. Kepalaku terasa begitu ringan ketika Mario membuatku tertawa dengan celotehannya. Kenapa dengan lelaki ini? Padahal aku dengannya baru berkenalan kemarin.
            “Maura, makan sekarang ya?” ia menyodorkan semangkuk bubur yang kelihatan masih hangat.
            “Ah, nanti saja. Aku masih malas, Mas” keluhku
            “Kau mau membantuku tidak?”
            “Apa, Mas?”
            “Bantu aku agar kau mau makan bubur ini sekarang. Aku suapi, aku janji” katanya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang membuat aku tertawa geli.
            “Ok ok, aku mau makan sekarang.” Aku pasrah. Aku membuka alat bantu hirup yang menempel di hidung dan menutupi bagian mulut. Mario membantuku, lalu dia menyimpan alat itu di samping tempat tidur.
            “Kau tak apa-apa, Maura?”
            Terlihat kekhawatiran dari raut wajah Mario. Aku memang masih sulit bernapas tanpa alat itu.
            “Aku baik-baik aja kok, Mario” aku tersenyum agar Mario tidak terlalu khawatir dengan keadaanku.
            Dia memang benar-benar menyuapiku. Dia meniup sesendok bubur yang di ambilnya, takut-takut masih panas katanya. Tak terasa, semangkuk bubur itu telah habis. Lalu Mario menyuruhku untuk meminum obat yang ada di tangannya.
            “Aku pasang lagi ya alat bantunya?” tanyanya
            “Gak usah deh, Mas.”
            “Serius nih? Aku pasang lagi ya?” terdengar sedikit memaksa
            “Gak perlu Mas. Aku udah membaik kok.” Senyumku.
            Tak beberapa lama saat berbincang-bincang, efek obat menyergapku. Rasa kantuk yang sangat berat tidak dapat aku tahan. Namun, Mario masih saja terus berbicara. Tanpa sadar, aku sudah menutup mataku. Akan terlelap tidur.
****
            “Lelaki yang kemarin kesini itu siapa, De?” Tanya Mama
            “Namanya Mario, Ma.”
            “Pacar baru?” goda Mama
            “Temen, Ma. Jangan mikir yang aneh-aneh deh.”
            Sejak aku di tinggal mati oleh pacarku, aku memang tidak terlihat dekat dengan lelaki mana pun. Mama sampai menyuruhku untuk mencari pasangan baru, agar aku tidak larut dalam kesedihan.
            “Temen kok sampai mencium keningmu, De?”
            Mencium? Kapan? “Kapan keningku dicium, Ma?” tanyaku sangat terkejut
            “Mama melihat tulisan dan sketsa wajahmu sedang tidur. Sudah kau lihat, De?”
            “Belum, Mama lihat dimana?”
            “Di meja kamarku, Sayang”
            Aku yang sedang beristirahat di depan tv tiba-tiba berdiri dan sedikit berlari menuju kamar. Penasaran sangat menyergap pikiranku. Banyak yang aku bayangkan sebelum aku melihat semua barang yang Mama maksud tadi.
            Aku pamit pulang, Maura. Aku tak berani membangunkan tidurmu yang lelap. Lekas sembuh, Maura. Lekas perform di café seperti biasa J
See you soon!
Mario
            Tak sadar aku telah menyunggingkan senyumku di depan memo itu. Dan di balik itu, kulihat ada sketsa aku sedang terlelap tidur. Ah..Mario….
            Lelaki ini selalu saja bisa membuatku senyum sendiri, tertawa geli. Mungkin kah dia bisa membuatku menangis? Aku harap tidak. Aku sudah tidak mau larut dalam kesedihan lagi hanya karena sebuah perpisahan.
            Aku masih punya beberapa pertanyaan. Namun, satu pertanyaan yang bisa mewakili semua pertanyaan itu adalah, apakah kita sama-sama saling tertarik satu sama lain? Entahlah. Hanya waktu yang bisa menjawab.
****

Senin, 06 Januari 2014

Smudge of Love

0 komentar


FanFiction ini diambil dari novel Refrain karya Winna Efendi
“Nataaaaaa! Tunggu akuu!”
            Nata yang sedang di ruang tata usaha dengan refleks menengok ke arah ku yang berlari karena datang terlambat ke sekolah. “Dasar tukang telat! Ngapain pake baju olahraga? Hari ini gak ada pelajarannya kan?” jawab Nata dengan ketus.
            “Jangan dulu masuk kelas ya? Please..anterin aku ke wc buat ganti baju. Hujan di jalan, jadi aku pake baju olahraga dulu biar rok gak basah.”
            “Niki..Niki..kapan sih bisa nepatin waktu?” Aku pun diantar Nata untuk berganti seragam yang aku pakai.
~~~~~~~
            Mungkin memang, aku dengan Nata tidak seperti pasangan-pasangan sahabat lainnya. Entah dari kapan kita bisa sedekat ini. Yang aku ingat hanyalah ketika aku diajak untuk bergabung ke dalam group basket Nata dengan teman-temannya. Sejak saat itu, dia sering datang ke rumah menjemputku untuk berlatih. Dan entah dari kapan aku bisa merasakan kenyamanan saat aku berada di dekatnya. Ketika teman-teman kelas mengadakan suatu acara, yaitu touring, dia tidak ikut. Teman-teman lainnya menawarkan boncengan kepadaku, namun aku tidak mau, benar-benar tidak mau. Pada akhirnya aku ikut dengan temanku yang membawa mobil.
            Di tengah-tengah acara berlangsung, ada temanku yang menyusul ke tempat acara itu sendirian. Kau tau siapa? Temanku itu Nata. Ya, ternyata teman dekatku yang datang. Dan seketika senyuman itu telah menyungging di mulutku. Aku hanya tidak mengerti, mengapa aku begitu nyaman dan merasa aman di dekatnya. Pada saat pulang dari acara pun, aku hanya ingin diantarnya. Nata pun tidak keberatan ketika aku menumpangi motornya. Sejauh ini, teman-teman sekelas sangat mengerti akan hubunganku dengan Nata.
~~~~~~
            “Niki, emang pacarmu gak akan marah kalau aku bonceng kamu terus?”
            “Tenang aja kali, Nat. Pacar aku itu orangnya cuek, mau pulang sama siapa aja bebas.” Celetukku sambil tertawa
            “Oh ya? Sama aja jomblo dong kalau kayak gitu? Kasian ya Niki dicuekin sama pacarnya.” goda Nata
            “Ih Nata jahat deh..” aku mencubit Nata karena kejahilannya, Nata hanya membalas dengan tertawanya. Aku pun ikut tertawa dengan lepas.
            Ketika salah satu diantara kita gagal, kita akan menghibur satu sama lain. Seperti kegagalan group basket Nata pada saat mengikuti pertandingan. Dengan kesalnya, Nata sampai memukul pagar besi lapangan dengan tangannya. “Nata, udah dong jangan marah-marah gitu. Mungkin ini belum rezeki. Kasian tangan kamu itu nanti sakit loh..” tegurku dengan khawatir. Mungkin belum puas dia mengeluarkan kekesalannya, sepanjang jalan pulang, dia terus berkomentar tentang pertandingan itu. Aku mengerti pada saat itu, dan aku hanya diam untuk mendengarkannya. Begitu juga ketika aku putus dengan pacarku, yang dia lakukan hanyalah mengejekku. Tapi aku tidak merasa sakit hati ataupun marah, aku malah terhibur dengan celotehannya. Karena aku tahu, dia melakukan itu untuk menghiburku dengan caranya sendiri.
            Nata seringkali membawa gitar ke sekolah. Memang kecintaannya terhadap musik sudah melekat dari dulu. Dia meluangkan waktunya untuk bernyanyi sendiri memakai gitarnya di kelas atau di luar kelas. Dan tanpa sadar, aku juga seringkali menemani dia saat bernyanyi. Terkadang aku pun meminta bantuan kepada Nata, untuk mencari soal nada ataupun aransemen sebuah lagu, karena semua hal itu kecil baginya. Tanpa sengaja aku satu kelompok seni musik dengan dia. Tugasnya yaitu mengaransemen lagu dan menyanyikannya. Nata menyuruhku untuk menyanyikan lagu favoritku. “Nat, aku gak bisa nyanyi.” tegurku padanya. Namun Nata tetap asyik dengan gitarnya. “Nata, dengerin aku dulu dong! Aku gak bisa nyanyi” tetap saja dia asyik dengan gitarnya.
“Nat...please, aku gak bisa nyanyi kalau aku sendiri aku ma-“
            “Oke, aku bakal temenin kamu nyanyi, Niki” belum sempat aku menyudahi kalimatku, Nata berucap seperti itu. Entah mengapa, denyut jantungku jadi cepat, tanganku terasa dingin, namun hatiku hangat di dalam dada.
            Sudah beberapa hari dia selalu datang ke rumahku untuk menyelesaikan aransemen lagu dan berlatih untuk menyanyikannya. Lagu yang akan kita bawakan adalah lagu Fix You yang dibawakan oleh Coldplay, karena aku sangat memfavoritkan lagu tersebut. “Bagian aku nyanyi, dibikin sedikit ya, Nat?” seperti biasa, Nata pura-pura tidak mendengarkan keluhanku. “Ayo coba nyanyikan lagunya” jawab Nata dengan ketus. “Dari awal nyampe akhir ya, Nik”
            “Tapi Nat-“
            “Tenang Niki. Aku bakalan nyanyi juga kok. Aku bakalan temenin kamu nyanyi.”
~~~~~~
            Hari yang ditunggu-tunggu pun datang, ujian praktek seni musik. Mungkin sudah beberapa hari kebelakang aku terus memikirkan tentang semua ini. Ketika aku mengingatnya, yang aku rasakan sakit perut dan jantungku berdegup dengan kencang. Tanda-tanda gugupku ini memang sulit untuk dihilangkan.
            “Tenang dong Nik, jangan gugup gitu”
            “Nat..aku gugup...”
            “Niki, kamu bisa. Kita bisa. Tenang, aku ada disamping kamu. Nyanyi pake hati jangan pake jantung yaa”
            “Aah..Nata gak lucu!”
            Nata tertawa lalu merangkulku begitu saja.
                                                            ~~~~~~~~~~
            Ujian pun terlewati. Kini aku bisa bernafas lega. Tidak akan merasakan sakit perut dan jantung berdegup kencang lagi ketika aku mengingat ujian ini. Ketika aku dan Nata bernyanyi semua orang terpana melihat kami berdua. Entah terpukau karena penampilan kami berdua yang memukau, entah itu terpukau karena suaraku yang menurutku tidak merdu. Namun, beberapa temanku berkomentar langsung kepadaku, bahwa penampilan tadi sangat bagus, “Mulut orang-orang menganga, Nik!” jawab mereka dengan gaya khas candanya.
            “Makasih ya Nat, udah bisa bikin aku yakin”
            “Sama-sama, Nik. Lain kali pede aja lagi. Suara kamu itu enak kok”
            Ah Tuhan, aku tak bisa menahan degupan jantung ini kalau Nata bersikap seperti itu terus. Kenapa sekarang aku merasakan semua ini? Dulu ketika aku dipuji atau disanjung Nata, sikapku malah tidak menghiraukannya. Ah Tuhan, aku tahu resikonya jika aku menodai persahabatan ini dengan perasaan mencintai. Jangan sampai hal itu terjadi, aku tidak mau.
            “Mulut dapat berbohong, tapi hati tidak” kata-kata itu sangatlah mengusik pikiranku saat ini. Bagaimana tidak, ketika Nata bercerita bahwa dia akan meminta seorang perempuan untuk menjadi pacarnya, tak tahu apa yang aku rasakan. Rasanya campur aduk. Aku hanya mencoba berusaha untuk tetap mendengarkan dan memberikan respon baik kepada Nata. Mungkin aku sedang menutupi sesuatu darinya.
                                                            ~~~~~~~~~
             Beberapa hari kemudian, Nata bercerita kepadaku bahwa cintanya telah diterima oleh gadis itu. Rasa penasaranku mulai muncul, siapakah gadis yang dimaksud Nata? Nata bercerita dengan lancar seperti saat dia memainkan gitarnya. Aku sangat senang menjadi seorang pendengar, apalagi mendengarkan cerita Nata.
            “Aiih romantis banget sih, Nat. Nyampe ngasih bunga gitu”
            “Iri ya? Belom pernah dikasih bunga ya sama cowok?” jawab Nata sambil tertawa terbahak-bahak
            “Ah jangan mulai deh, Nat...” dengan wajahku yang cemberut aku berniat pergi. Namun, Nata seolah dapat membaca pikiranku. Dia kemudian memegang tanganku dengan jemarinya yang lebih besar dari ukuran jemariku. Dan jantungku berdegup kencang, lagi.
            “Iya deh Nik, maafin aku. Suatu hari nanti kamu bakalan ketemu sama true love kamu. Tapi mungkin gak tau kapan yaa Nik hahahaha”
            “Aaaaaa Nataaaaaaaa!” aku berteriak sambil mengejar Nata yang sudah terlebih dahulu lari.
            Aku sendiri tidak tahu, apa yang aku rasakan saat melihat Nata berjalan dengan gadis itu. Munafik bagiku jika aku mengatakan bahwa diriku tidak cemburu ketika melihat Nata dengan gadisnya. Entahlah, aku hanya merindukan Nata yang dulu. Karena setelah kehadiran gadis itu ke dalam kehidupan kami berdua, Nata sudah jarang datang ke rumahku, memainkan gitarnya untukku, tertawa lepas karenaku, dan mungkin kenyamanan ku terhadap Nata pun secara tidak langsung sudah terganggu karena adanya gadis itu.
            Mungkin beginilah resikonya, jika persahabatan ternodai oleh percintaan. Seseorang terkadang lupa terhadap sahabatnya sendiri, jika seseorang itu sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, pengecualian bagi seseorang yang benar-benar mempunyai rasa kasih sayang yang amat dalam kepada sahabatnya tersebut.
            Aku yakin, dan percaya, bahwa Nata akan kembali seperti dahulu dan dia bukanlah seorang sahabat seperti orang-orang di luar sana yang pergi meninggalkan sahabatnya hanya karena mengejar cintanya. Dan Tuhan, tolong hapuskan rasa cintaku ini yang tertuju untuk Nata. Aku hanya ingin Nata di sampingku sebagai seorang sahabat. Karena aku tahu, jika rasa cinta ini terus bertambah, hanya lelah yang akan di rasakan oleh hatiku.
“when you lose something you can’t replace” –Fix You, Coldplay